10 Perusahaan Lokal Indonesia yang Bermerek Dunia -
Dalam dunia bisnis, kita sering dengar kata “branding”, “marketing” dan
“iklan”. Tapi kata Branding yang paling sering di sebut sebut. Kemudian
adalagi kata Merk, atau bisa di sebut sebagai identitas. Banyak pakar
bisnis bilang kalau kita mengeluarkan anggaran untuk beriklan dan
pemasaran tanpa memperdulikan posisi merek, itu sama saja dengan
menumpuk uang lalu membakarnya.
Branding adalah konsep yang ternyata paling banyak salah dimengerti
dalam dunia pemasaran. Branding bukanlah periklanan dan bukan pula
pemasaran atau humas. Branding adalah cara membentuk konsumen potensial
agar memandang Anda sebagai satu satunya pemecahan masalah mereka.
Begitu anda dipandang sebagai satu satunya, tidak ada tempat lain untuk
berbelanja.
Produk atau layanan Anda bukanlah merek perusahaan, logo, atau Kartu
nama Anda. Merek adalah “kepribadian sejati perusahaan”. Merek adalah
apa yang dipikirkan dan dikatakan konsumen.
Merek adalah sebuah janji dan branding merupakan tindakan mewujudkan
janji yang dibuat perusahaan kepada dunia. Pemasaran ibarat kotak
peralatan yang berisi Branding, iklan, direct email, riset pasar, relasi
dan lain lain. Iklan bisa berupa iklan cetak (surat kabar, majalah),
iklan out door (billboard, spanduk), Iklan Banner di Internet atau di
TV, Radio. Tujuan Iklan adalah menarik perhatian, menciptakan persepsi
positif, dan mendorong suatu reaksi selagi menyampaikan informasi yang
akan dianggap relevan bagi kebutuhan konsumen.
Jika Anda belum menemukan spesifikasi merek perusahaan Anda, jangan
habiskan satu rupiah pun untuk pemasaran sampai Anda berhasil. Meski
semua orang kenal dengan merek merek global seperti Apple, Nike, Coke
dan Nokia, perusahaan kecil juga dapat mengembangkan merek potensial
serta memasarkannya dengan sukses.
Suatu Merek menciptakan image dalam benak konsumen, yang menyimpulkan
adanya sesuatu yang berbeda dari perusahaan Anda. Berikut di bawah ini
adalah daftar 10 perusahaan lokal Indonesia yang berhasil melakukan
branding mereknya sehingga menjadi besar melebihi ukuran perusahaannya
sendiri.
OUVAL RESEARCH
Maraknya komunitas skateboard di Bandung membuat trio Rizki, Maskom
dan Firman, pada 1997 menciptakan Ouval Research. Tujuan semuala adalah
untuk menyuplai peranti juga fesyen buat para skateboarder.”Saat itu,
kalau harus beli, rasanya mahal,” kata Rizky.
Pada tahap awal, Ouval Research merilis produk pakaian, seperti kaus,
jaket, celana panjang, dan tas. “Kami berpikir untuk membuat produk
yang mewakili komunitas kami,” ujar Rizki.
Maka, sebagai langkah pembuka pasar, Rizki cs menawarkan produk Ouval
pada komunitas terdekatnya yang memiliki minat olahraga, selera musik,
serta pakaian yang sama.
Waktu itu kondisi sedang krisis ekonomi. Harga barang impor naik
semua. Toh, tak mudah menegakkan usaha baru tersebut. Mereka mesti
berjuang meyakinkan para pelanggan bahwa produk yang ditawarkan tak
kalah berkualitas dari produk asing. “Itu susah,” imbuh Rizki. Orang
lebih dulu ragu dengan kualitasnya, karena harganya jauh lebih murah.
Apalagi, saat itu mereka masih menggunakan cara berdagang dari pintu
ke pintu alias door to door. “Semua turun tangan dalam hal pemasaran,”
ujarnya.
Karena keterbatasan modal dan waktu, maka mereka membuka pula layanan
jasa usaha lain untuk memproduksi pesanan pakaian atau tas. “Modal
terbatas, karena mayoritas kami baru lulus kuliah,” kata Rizki.
Kekuatan label ini terletak pada koleksi kaosnya yang hadir dengan
print unik dan erat sekali dengan budaya street style yang dinamis, fun
dan berjiwa muda. Dari kaos, koleksi Ouval Research berkembang hingga ke
aksesori, mulai dari tas, sepatu, bahkan sampai MP3 dan otopet. Kini
Ouval Research semakin memperlihatkan keseriusan dan kemajuan bisnisnya
hingga mengekspor produknya ke mancanegara seperti Singapura di butik
Fyeweraz dan skateboard di Jerman.
Le Monde
Le monde diambil dari Bahasa Prancis yang artinya dunia. Perusahaan
ini merupakan bisnis keluarga memiliki yang didirikan oleh Zakiah
Ambadar (Jackie Ambadar) dengan aset Rp 13 miliar dengan omset Rp 3
miliar per bulan. Saat ini, perusahaan perlengkapan bayi ini mempunyai
10 outlet yang tersebar di Jakarta, Bandung, Bogor dan Malang. Selain
memiliki banyak outlet, Le Monde telah melakukan franchise sejak tahun
2001.
Pengalaman pertama menjajakan produk dagangnya yaitu memasang display
satu kamar tidur lengkap di Pasaraya, begitu jam pertama dibuka
langsung bisa terjual habis diborong oleh istri pejabat. Saat itu
pengelola Pasaraya sempat menegur Jackie karena ia tidak menyediakan
stock atau cadangan.
Setelah sukses di Pasaraya, Jackie Ambadar yang sekaligus menjadi
Managing Director PT Lembanindo Tirta Anugrah, kemudian melabarkan sayap
usahanya dengan menjual Le Monde di pasar Melawai. Permintaan ternyata
cukup tinggi, sehingga pihaknya kewalahan memenuhi permintaan konsumen.
Guna memenuhi permintaan pasar, Jackie lalu mendirikan pabrik di
Ciawi, Bogor. Bersamaan dengan itu, pada tahun 1984 Le Monde juga
membuka Kantor Pemasaran di kawasan Jl Radio Dalam Raya No. 88, Jakarta
Selatan. Pembukaan outlet di Jl Radio Dalam ini dimaksudkan untuk
merealisasikan toko sendiri, menjaga cash flow karena department store
melakukan pembayaran yang relatif lama yaitu 45 hari, padahal Le Monde
harus membayar pada supplier atau penyedia bahan-bahan produksi dengan
jangka waktu 20 hari. Selain itu, tentu saja pembukaan tersebut sebagai
wujud dari keinginan untuk lebih dekat dengan konsumen.
Jackie melihat bahwa produk-produk yang dijual di pasaran seperti di
sejumlah department store selama ini tidak pernah lengkap. “Karenanya
ketika Le Monde bisa menyajikan display secara lengkap banyak pengunjung
senang,” katanya.
Kini produk produk Le Monde sudah di ekspor keberbagai negara di
Asia, Australia, Jerman, hingga negara Timur Tengah seperti Kuwait dan
Bahrain. Berkat keberhasilannya menjaga mutu prima, Le Monde pernah
menyabet penghargaan Best Asean Infant Wear 2005.
Mimsy
Christyna Theosa seorang mahasiswi Art Center College of Design
Pasadena, Perempuan kelahiran Tuban, 2 Januari 1982 ternyata sukses
dengan tas buatannya yang di beri nama label Mimsy pada 2004. Ia banyak
bereksperimen dengan bahan dan warna untuk menciptakan desain yang
elegan, unik, dan classy, namun juga seksi dan funky.
Ia mendesain clutch-nya dengan bahan terbaik seperti kulit Italia,
kain lace Jepang dan Prancis, pita sutra, beludru, hingga kristal
Swarovski. Semua tas dan clutch-nya juga dilapisi dengan bahan suede
Italia dan satin. Tas-tas buatannya ini dijual dengan kisaran harga Rp
1,5 juta hingga Rp 7 juta.
Christyna memasarkan koleksinya door to door, sampai akhirnya
memutuskan untuk memilih jalur konsinyasi dengan toko tas dan pakaian di
daerah Main Street, Santa Monica, CA. “Lingkungan itu adalah daerah
perkantoran orang-orang film Hollywood dan studio film,” ujarnya.
Tas Mimsy yang bergaya edgy ternyata diminati, dan penjualannya terus
melesat. Christyna pun kemudian menyasar pecinta fashion dengan budget
terbatas dan membuat label Clementine yang dibandrol Rp 158 ribu – Rp
600 ribuan. Perbedaan ada pada bahan bakunya, “Namun kualitas sama
baiknya,” terangnya lagi.
Kini tas karyanya bisa ditemui di Amerika (New York, Los Angeles,
Chicago), Jepang, Malaysia, dan tentunya Indonesia (Grand Indonesia
Shopping Town). Koleksi tas ini juga bisa diakses di http://www.mimsycollections.com.
Saat ini Christyna telah bekerjasama dengan label internasional
seperti Bebe dan Urban Outfitters. Untuk Bebe, dia menciptakan tas Mimsy
limited edition. Christyna juga tidak melupakan akarnya sebagai wanita
Indonesia, setiap tahun dia menciptakan koleksi tas dengan unsur
Indonesia.
PeterSaysDenim
Adalah nama Label Celana Jins yang cukup terkenal di Bandung, didirikan
oleh Peter Firmansyah, Produk-produknya sudah diekspor ke beberapa
negara. Bahkan jins, kaus, dan topi yang menggunakan merek
Petersaysdenim, bahkan dikenakan para personel kelompok musik di luar
negeri.
Sejumlah kelompok musik itu seperti Of Mice & Man, We Shot The
Moon, dan Before Their Eyes, dari Amerika Serikat, I am Committing A
Sin, dan Silverstein dari Kanada, serta Not Called Jinx dari Jerman
sudah mengenal produksi Peter. Para personel kelompok musik itu
bertubi-tubi menyampaikan pujiannya dalam situs Petersaysdenim.
Pada situs-situs internet kelompok musik itu, label Petersaysdenim
juga tercantum sebagai sponsor. Petersaysdenim pun bersanding dengan
merek-merek kelas dunia yang menjadi sponsor, seperti Gibson, Fender,
Peavey, dan Macbeth. Peter memasang harga jins mulai Rp 385.000, topi
mulai Rp 200.000, tas mulai Rp 235.000, dan kaus mulai Rp 200.000.
Hasrat Peter terhadap busana bermutu tumbuh saat ia masih SMA. Peter
yang lalu menjadi pegawai toko pada tahun 2003 kenal dengan banyak
konsumennya dari kalangan berada dan sering kumpul-kumpul. Ia kerap
melihat teman-temannya mengenakan busana mahal. “Saya hanya bisa menahan
keinginan punya baju bagus. Mereka juga sering ke kelab, mabuk, dan
ngebut pakai mobil, tapi saya tidak ikutan. Lagi pula, duit dari mana,”
ujarnya.
Peter melihat, mereka tampak bangga, bahkan sombong dengan baju,
celana, dan sepatu yang mereka dipakai. Harga celana jins saja,
misalnya, bisa Rp 3 juta. “Perasaan bangga seperti itulah yang ingin
saya munculkan kalau konsumen mengenakan busana produk saya,” ujarnya.
Sewaktu masih SMA, Peter terbiasa pergi ke kawasan perdagangan
pakaian di Cibadak, yang oleh warga Bandung di pelesetkan sebagai Cimol
alias Cibadak Mall, Bandung. Di kawasan itu dia berupaya mendapatkan
produk bermerek, tetapi murah. Cimol saat ini sudah tidak ada lagi. Dulu
terkenal sebagai tempat menjajakan busana yang dijual dalam tumpukan.
Ia benar-benar memulai usahanya dari nol. Pendapatan selama menjadi
pegawai toko disisihkan untuk mengumpulkan modal. Di sela-sela
pekerjaannya, ia juga mengerjakan pesanan membuat busana. Dalam sebulan,
Peter rata-rata membuat 100 potong jaket, sweter, atau kaus. Keuntungan
yang diperoleh antara Rp 10.000- Rp 20.000 per potong. “Gaji saya hanya
sekitar Rp 1 juta per bulan, tetapi hasil dari pekerjaan sampingan bisa
mencapai Rp 2 juta, he-he-he…,” kata Peter. Penghasilan sampingan itu
ia dapatkan selama dua tahun waktu menjadi pegawai toko hingga 2005.
Belajar menjahit, memotong, dan membuat desain juga dilakukan
sendiri. Sewaktu masih sekolah di SMA Negeri 1 Cicalengka, Kabupaten
Bandung, Peter juga sempat belajar menyablon. Ia berprinsip, siapa pun
yang tahu cara membuat pakaian bisa dijadikan guru.
Merek Petersaysdenim berasal dari Peter Says Sorry, nama kelompok
musik. Posisi Peter dalam kelompok musik itu sebagai vokalis. “Saya
sebenarnya bingung mencari nama. Ya, sudah karena saya menjual produk
denim, nama mereknya jadi Petersaysdenim,” ujarnya tertawa.
Peter memanfaatkan fungsi jejaring sosial di internet, seperti
Facebook, Twitter, dan surat elektronik untuk promosi dan berkomunikasi
dengan pengguna Petersaysdenim. “Juli nanti saya rencana mau ke Kanada
untuk bisnis. Teman-teman musisi di sana mau ketemu,” katanya.
Akan tetapi, ajakan bertemu itu baru dipenuhi jika urusan bisnis
selesai. Ajakan itu juga bukan main-main karena Peter diperbolehkan ikut
berkeliling tur dengan bus khusus mereka. Personel kelompok musik
lainnya menuturkan, jika sempat berkunjung ke Indonesia ia sangat ingin
bertemu Peter. Ia melebarkan sayap bisnis untuk memperlihatkan
eksistensi Petersaysdenim terhadap konsumen asing.
“Pokoknya, saya mau ’menjajah’ negara-negara lain. Saya ingin
tunjukkan bahwa Indonesia, khususnya Bandung, punya produk berkualitas,”
ujarnya.
Al Madad
Al Madad adalah merek cokelat yang digagas Sofihah dan mulai dikenal
pasar lokal sejak 2008 lalu. Sofihah memang berniat mengangkat kekhasan
lokal Banten dari produk cokelatnya. Mulai penamaan yang bernuansa
religi dan budaya khas Banten, hingga penggunaan bahan baku cokelat yang
berasal dari sejumlah pabrikan cokelat di Banten. Sejumlah pabrikan ini
juga menggunakan bahan baku cokelat dari perkebunan yang ada di
provinsi berusia 10 tahun ini.
“Indonesia penghasil cokelat terbesar di dunia. Perkebunan cokelat di
Serang, Banten, juga terbesar di tingkat Asia. Jadi tak perlu jauh-jauh
menikmati cokelat, karena semuanya ada di negeri sendiri,” katanya,
menambahkan bahwa perkebunan cokelat di Serang berhasil mengekspor
cokelat untuk pertama kalinya pada tahun 2010.
Dengan Modal Rp 10 juta, usaha berkembang dalam dua tahun Sofi
menghitung, modal awal membangun usaha perdananya ini sekitar Rp 10
juta. Bahan baku yang didapat tak jauh dari tempat tinggalnya di Serang
membantunya mengurangi sejumlah biaya. Sejumlah alat mesin maupun manual
yang dibutuhkan untuk produksi cokelat juga termasuk dalam modal awal
ini.
Kini, setelah dua tahun berjalan, produksi rata-rata hariannya lebih
dari 200 cokelat. Omzetnya mencapai Rp 12 – 15 juta per bulan dengan
profit lebih dari 20 persen.
Sofi juga berhasil mengembangkan bisnis cokelatnya dengan membuka tiga outlet di supermarket dan mall.
Fokus pada pengembangan produk Meski dekat dari sumber daya alam
cokelat, Sofi mengaku lebih efisien membeli bahan baku setengah jadi
dari pabrik cokelat. Sofi lebih banyak menggunakan dark chocolate pada
produknya.
“Membeli bahan baku mentah dari kebun membutuhkan biaya lebih tinggi
untuk pengolahan. Saya lebih memilih membeli bahan baku pabrikan dan
fokus pada pengembangan produk,” katanya.
Benar saja, dalam dua tahun cokelat Al Madad memiliki lebih dari tiga
varian olahan cokelat. Tahap awal, Sofi mengenalkan cokelat berbentuk
stik bergambar bunga atau binatang. Anak-anak menjadi sasaran pasar Sofi
pada tahap awal membuka bisnisnya yang belum diberi nama Al Madad.
Cokelat stik kreasi Sofi semakin berkembang pada 2009 dengan model
edible. Cokelat stik dengan model gambar dari bahan kertas gula yang
aman dimakan. Sofi juga menerima permintaan khusus, dengan mengganti
gambar atau foto tokoh kartun pada cokelat edible, dengan foto pribadi.
Kurang dari setahun, Sofi menangkap peluang lain untuk mengembangkan
usahanya. Al Madad kemudian hadir dalam bentuk cokelat batangan dengan
dua pilihan ukuran, 80 gram dan 60 gram. Variasi rasa juga memperkaya
pilihan produk. Cokelat batangan Al Madad terdiri atas rasa kismis,
kacang mede, kurma, dan kacang tanah.
Selanjutnya Sofi menambah lagi varian produk dengan model cokelat
praline. Dengan kemasan unik dan cantik, cokelat praline buatan Sofi
berhasil menarik pasar. Prinsip melayani sesuai permintaan membuat
bisnis cokelat miliknya semakin berkembang.
“Cokelat praline bisa dipesan sesuai permintaan, baik ukuran maupun
tulisan. Misalnya, cokelat bertuliskan I Love You untuk hadiah
valentine,” katanya.
Cokelat praline ini berbentuk bulat berukuran kecil yang dikemas
dalam wadah plastik transparan. Isinya beragam, mulai dua buah cokelat.
Cokelat bulat kecil ini berisi varian rasa seperti cokelat cair,
strawberry, blueberry, atau nanas. Cokelat model ini umumnya banyak
dipesan menjelang lebaran. Kemasannya yang cantik layak dijadikan
hantaran lebaran atau sebagai hadiah.
Berganti skema pemasaran Bisnis bagi Sofi memerlukan keberanian
mengambil risiko. Gagal bukan menjadi hambatan baginya. Mencari skema
pemasaran yang lebih tepat menjadi tantangan tersendiri bagi Sofi.
Saat pertama kali mengenalkan produk cokelat lokal, Sofi mengaku
mengalami kesulitan. Namun motivasi kuat untuk berbisnis dan membuka
lapangan kerja mendorongnya untuk tetap bertahan dan semakin berkembang.
Mengandalkan brosur dan rekanan distributor, Sofi mengenalkan cokelat
stik sebagai produk perdananya. Melihat peluang bisnis online, Sofi
mulai mengaktifkan situs merek cokelat Al Madad sebagai bentuk pemasaran
lanjutannya. Lalu, Sofi juga menjual cokelatnya melalui sejumlah
minimarket. Akhirnya, dengan bantuan dan dukungan keuangan dari BUMN
Jasa Raharja melalui program pembinaan usaha kecil, Al Madad mulai
dipasarkan di outlet milik Sofi di pusat belanja di Serang.
“Outlet di mall lebih eye catching. Setidaknya traffic pengunjung
yang tinggi membuka peluang penjualan. Awalnya pengunjung hanya
melihat-lihat, lalu karena tertarik mencoba, mereka kemudian membeli
cokelat,” papar Sofi, yang mengaku omzet semakin meningkat sejak membuka
tiga outlet.
Keunikan produk Al Madad tak hanya karena mengangkat kearifan lokal
Banten. Sofi juga menyertakan brosur berisi pengetahuan seputar manfaat
cokelat. Dengan begitu, konsumen lebih teredukasi mengenai nilai lebih
dari cokelat yang bisa menimbulkan mood positif.
Produk lokal cokelat Al Madad di bawah kepemimpinan Sofi, membuktikan
kemampuan bisnis skala kecil memenuhi permintaan konsumen dan menarik
kepercayaan perusahaan untuk menjadi mitra. Dengan tambahan modal dari
mitra, Sofi mampu menambah produksi cokelat untuk tetap konsisten
memenuhi permintaan pasar. Dalam dua tahun, Al Madad dikenal sebagai
produk unggulan khas Banten, serta berhasil menggaet pasar di kota lain
seperti Bandung, Yogyakarta, dan Semarang. Bukan mustahil nantinya dark
chocolate asli Banten ini mendunia. Toh sejumlah produk impor nyatanya
mengambil bahan baku dari lahan yang sama, tanah Banten.
J.CO Donuts & Coffe
Johnny Andrean yang sebelumnya terkenal sebagai pengusaha salon yang
sukses. Tak kurang dari 168 jaringan salon dan 41 sekolah salon
dimilikinya, namun insting sang penata rambut kemudian membawanya terjun
ke bisnis makanan.
Sejak tahun 2003 ia aktif mengembangkan J.CO. J.CO adalah produk
dalam negeri dengan menggunakan konsep dari luar negeri dan
disempurnakan dengan modernisasi dan kualitas terbaik. J.CO ditujukan
untuk menyerbu pasar asing.
Persiapan J.CO membutuhkan waktu yang lama.
Selama 3 tahun Johnny Andrean dan timnya mempelajari bisnis donat,
mengeksplorasi resepnya, serta melakukan riset pasar dan sampling.
Johnny meluncurkan J.CO dengan konsep “apa yang disukainya dan hal ini
bisa diterima masyarakat”.
Tahun 2005, outlet pertama J.CO donuts ane coffe dibuka di Supermall
Karawaci. Sejak itu J.CO terus mengembangkan sayap di berbagai mall
diIndonesia. Dengan mengandalkan racikan donat dan kopi berkualitas
internasional, perusahaan lokal dengan rasa internasional ini terus
berkembang. J.CO bahkan ada di Malaysia dan Singapura.
Klenger Burger
Pada awalnya adalah Velly Kristanti dan suaminya, Gatut Cahyadi,
ingin mencoba sebuah usaha sendiri, mereka pun nekat keluar dari
pekerjaan dan memulai bisnis sendiri tahun 2004, dari bisnis advertising
syariah, bisnis IT, ternyata semua berujung gagal. Kebetulan pada
awalnya mereka punya usaha Pondok Sayur Asem di daerah Pekayon, Bekasi,
yang sempat tidak mereka pedulikan. Berawal dari situ, ide membuat
makanan untuk anak muda yang cepat, halal, dan nikmat pun terbersit dan
burger dipilih sebagai pilot project-nya.
Segala macam buku tentang burger dipelajari hingga akhirnya Velly
membuat sendiri burger yang Indonesia banget. Terbuat dari roti yang
lembut dan daging berurat serta saus spesial, burger bikinan Velly
ternyata digemari dan semakin laris dipesan. Intinya, bikin orang jadi
‘klenger’!. Begitulah nama ‘klenger’ akhirnya dikenal masyarakat,
khususnya anak muda yang menjadi target market Klenger Burger.
Selain nama yang gampang diingat serta rasa dan servis yang
memuaskan, Klenger Burger juga sukses dengan persebaran outletnya yang
pada tahun 2010 ini berupaya mencapai target 100 outlet di seluruh
negeri. Tak heran, “Jelajah Negeri” jadi tema Klenger Burger untuk tahun
ini.
Sepertinya, target itu akan mudah tercapai mengingat hingga April
2010 ini, Klenger sudah mempunyai 63 outlet yang tersebar di Jabotabek,
Bandung, Kuningan, Bali, dan Medan.Selain itu, ada 8 outlet yang mau
opening, serta tambahan 6 outlet yang sedang dalam preparation juga.
Selain burger, Klenger juga memperkenalkan brand Pizza Kriuk, Clemots
Coffee, dan Kweker Fried and Grilled Duck. Pizza bikinan Klenger juga
masih bercita rasa Indonesia, misalnya saja pizza balado dan pizza sate.
Klenger memang addict untuk membuat brand-brand baru di bawah PT
Kinarya Anak Negeri (KAN), perusahaan yang digawangi Velly dan suami.
Brand-brand ini pun mempengaruhi strategi marketing Klenger ke
masyarakat, dan tentunya investor yang berminat menjadi Franchisee.
Kini, sudah ada Burins (Burger Instan) yang menganut konsep take
away, dapat ditemui di jaringan Alfa Express dan Circle K, 2K (Klenger
Kriuk) yang menyediakan menu burger dan pizza dengan tempat buat kongkow
yang asyik, Foodteran dengan konsep kolaborasi Klenger Burger, Pizza
Kriuk, dan Clemots Coffee dalam satu area yang menyuguhkan pilihan
variasi lengkap dengan teknologi support Free WIFI.
Es Teles 77
Es Teler 77 bermula ketika Murniati Widjaja, memenangkan juara
kompetisi memasak dengan membuat minuman tradisional Indonesia itu. Saat
itu pada 1982. Murniati dengan dukungan suaminya membuka restoran
khusus es teler yang diberinya nama Es Teler 77. Dua angka di belakang
bukan tanpa makna. Bagi keluarga Widjaja, 77 merupakan nomor
keberuntungan.
Modal Rp 1 juta dipakainya untuk mendirikan tenda kecil di emper
pusat perbelanjaan Duta Merlin, Harmoni, Jakarta Pusat. Terkadang,
dagangannya terpaksa tutup ketika hujan mendera dan genangan mulai
meninggi.
Pada 1987, franchise pertama dibuka di Solo Jawa Tengah. Namun saat
ini, Es Teler 77 telah mencapai 180 cabang dan mempekerjakan dua ribu
orang, hampir di seluruh provinsi ada.
Tak hanya di dalam negeri, Es Teler 77 telah go international ke
Singapura dan Australia, masing-masing tiga outlet. “Kami sedang bersiap
merambah Beijing dan Jeddah dengan mengikuti pameran di sana pada Mei
ini,” kata Anton yang merupakan generasi kedua dari bisnis ini.
Merambah luar negeri, Anton menyatakan, telah mendaftarkan hak cipta
merek dagangnya. “Penting untuk mengamankan terlebih dulu hak cipta
untuk menghindari copy cat dan penyalahgunaan merek,” ujarnya.
Keinginan untuk go international Anton mengakui tidak berorientasi
pada keuntungan. Tidak bisa dianggap profit centre, untuk survei ke luar
negeri saja membutuhkan biaya yang banyak.
Menginjakkan kaki ke Singapura dan Australia hanya untuk membangun
merek. “Semacam visi tersendiri bahwa usaha kami bisa merambah global,”
kata Anton.
Lagipula dengan menjual cita rasa khas Indonesia warga negara
Indonesia yang hampir tersebar di seluruh dunia menjadi sumber pelanggan
utama. Ditambah dengan komunitas yang dibangun dengan masyarakat lokal,
di sana akan mengembangkan pasar.
Selain itu, alasan memilih negara seperti Jeddah dan Beijing juga
karena karakter selera yang tidak jauh berbeda. Kalau di Jeddah karena
banyak yang umroh dan bekerja di sana, maka menjadi pasar yang cukup
besar, permintaan di dua negara itu juga banyak.
Sedangkan Beijing, akan menjadi pasar yang menjanjikan mengingat
karakter masakan di kawasan Asia akan mengglobal. “Lihat saja di
mall-mall Indonesia, tidak hanya masakan Indonesia tapi juga ada masakan
China, Thailand, atau Vietnam,” ujarnya.
Hingga saat ini, Es Teler 77 telah membuka dua resto cepat saji,
yakni di Jalan Aditiawarman dan Pantai Indah Kapuk. Menu andalan tetap
pada es teler, bakso, dan mie ayam. “Itu menu-menu pertama kami,”
katanya.
Seiring berjalannya waktu, menu-menu baru hasil kreasi sendiri mulai
bermunculan, seperti siomay, pisang bakar, roti bakar, nasi goreng, ayam
goreng, dan sop buntut.
Bagi pemula waralaba, Anton membagi sedikit resep. Sebenarnya tidak
terlalu sulit menjalankan bisnis, yang penting harus sadar bahwa konsep
bisnis yang jelas merupakan faktor utama untuk dijual, dan kemudian
harus fokus pada brand. Untuk fokus di brand yang sudah dibangun, perlu
adanya standarisasi dalam produk.
Usahawan juga harus mau mulai dari bawah dan bertahap untuk
mendapatkan kesuksesan. “Yang lain, dipertajam dengan
pelatihan-pelatihan,” ujarnya.
Anton sengaja membidik segmen menengah ke bawah untuk usahanya. Agar
usahanya tidak terlalu suka buka di mall yang mahal biaya sewanya. Balik
modal rata-rata terjadi dalam dua tahun. Berbeda-beda tergantung
lokasinya. Kadang di daerah malah bisa setahun balik modal, karena di
sana investasi murah dan belum banyak saingan.
PARTNER IN CRIMES
Fahrani memang sudah malang melintang di dunia modeling
Internasional. Namun cewek bernama lengkap Fahrani Pawaka Empel ini
ternyata punya insting bisnis yang baik. Yaitu Brand sepatu buatannya,
Partner In Crime. bisnis sepatu wanitanya berlabel Partner in Crimes,
mendapat sambutan positif dari publik, baik lokal maupun international.
Karakter yang rebellious dengan detail stud yang sangat digemari
wanita urban mendominasi desainnya, yang tak hanya kondang di Bali.
Disalurkan lewat butik multibrand di Jakarta, merek ini sudah
berekspansi ke Ibiza, spanyol. Rencananya kedepan giliran Australia yang
bakalan ‘ditodong’. Merek ini siap menjajah benua Kangguru.
Awalnya fahrani tidak berniat membuat desain sepatu. Dia pernah
tinggal di Jepang, dan punya temen yang punya bisnis jeans, tapi
jeans-nya ini ada aksesorinya. Saat itu temannya minta bantuan buat
bikin desain aksesorinya. Berawal dari situ Fahrani mulai suka mendesain
gambar-gambar.
Dari desain gambar dia mulai beralih ke desain aksesoris, lampu
terus baru mulai ke sepatu. Ketika Fahrani berkunjung ke Bali, dan ada
salah seorang sahabatnya buka toko di Bali dan dia perlu berpartner
dengan orang Indonesia. Akhirnya dia minta bantuan gue. Dan tadinya
fahrani berniat untuk jadi silent partner. Dari sini Fahrani pun
terdorong untuk membuat desain sepatu. Ternyata dari sini malah desain
sepatu nya lumayan sukses hingga sekarang.
HATTEN BALI WINES
Wine yang beredar di Indonesia masih di dominasi produk Impor, tetapi
ada Wine Lokal yang mutunya tak kalah dengan impor yaitu Hatten Bali
Wines, WIne ini mulai diproduksi oleh anak negeri asal Bali bernama I B
Rai Budarsa tahun 1994. Gus Rai, panggilan akrabnya, sungguh tak asing
dengan ilmu membuat minuman dari anggur, lantaran keluarganya sudah
membuat brem dan arak Bali sejak tahun 1960-an, plus latar belakang
pendidikannya di jurusan food processing, dan ia memang pecinta wine.
Anggur-anggur didatangkan dari vineyard pribadi seluas 14.5 hektar
yang berlokasi di Singaraja, Bali. Tidak hanya vineyard, Hatten juga
mempunyai winery untuk memproduksi lebih dari 8 jenis wine, dan itu
membuat Hatten Wines menjadi winery pertama di tanah air yang bisa
dikatakan 100% Indonesia.
Hatten Wine Rose hingga kini menjadi produk andalan dari Hatten Wine,
dan sempat memenangkan penghargaan di London pada tahun 2003. Ekspor
Hatten Wines kini sudah mencapai negara-negara Eropa seperti Belgia,
Inggris dan Belanda, serta Singapura hingga Maladewa.
sumber : "http://archive.bisnis.com/articles/waralaba-10-merek-lokal-go-international-tahun-ini"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar